Kamis, 22 November 2012

Potensi Pertanian Indonesia (part 3)


Untuk saat ini produktifitas lahan yang tinggi ini belum mampu membuat petani Indonesia hidup sejahtera. hal ini dikarenakan lahan yang dimiliki petani sangat sedikit. Dari 13 juta hektar lahan pertanian di Indonesia, hanya 5,8 juta hektar yang dimiliki oleh petani, sementara 7,2 juta hektar dimiliki oleh BUMN dan Swasta. Jumlah petani di Indonesia mencapai 30 juta orang, ini berarti setiap petani rata-rata memiliki lahan seluas 0,2 hektar. Dengan 0,2 hektar lahan yang dimiliki berarti rata-rata petani  di Indonesia mampu menghasilkan kurang lebih 800 kg beras pertahun. Petani di Desa umumnya mengkonsumsi langsung beras yang dihasilkan, beras yang dihasilkan dalam sekali panen tidak dikonsumsi sendiri oleh pemilik sawah. Namun juga dibagikan kepada orang yang menggarap sawah tersebut. Inilah yang menyebabkan mengapa petani Indonesia belum mampu hidup layak, apalagi sejahtera dari bertani.
            Tidak heran dengan berbagai masalah yang dihadapi, Petani Indonesia menyerah dan memilih untuk menjual lahan pertaniannya dan menyebabkan semakin menurunnya lahan pertanian di Indonesia. Alih fungsi lahan pertanian semakin besar seiring dengan maraknya investor yang muncul dan menawarkan harga tinggi terhadap sawah mereka. Dewasa ini, lahan pertanian dialih fungsikan untuk pembangunan daerah wisata, hotel dan berbagai usaha properti. Belum lagi lahan pertanian yang dialihkan kepemilikannya dari petani menjadi milik swasta yang semakin menyengsarakan kehidupan petani. Tindakan yang perlu dilakukan bukanlah mengalihkan kepemilikan lahan pertanian keswasta namun mengupayakan perluasan lahan pertanian yang dimiliki petani.
            Pemerintah mencanangkan swasemabada beras dan juga berangan-anagan mampu menjadi pemasok pangan dunia, namun mimpi pemerintah ini tidak diiringi dengan tindakan tepat dan juga tidak memperhitungkan nasib petani. Untuk mewujudkan mimpi menjadi pemasok pangan dunia pemerintah memilih untuk mengelola pertanian bersama swasta. Hal ini berarti petani-petani kecil akan semakin “termarjinalkan.” Seperti yang terjadi di Merauke, sebagian besar wilayah pertaniannya dikuasai oleh swasta sehingga petani lokal semakin terpinggirkan. Jika saja pemerintah tetap menggandeng swasta, maka nasib petani tidak akan berkembang, walau target untuk menjadi penyedia pangan internasional tercapai. Hanya swasta yang merasakan keuntungan ini, dan rakyat kecil atau petani tetap saja akan hudup di bawah garis kemiskinan.
            Dalam sistem yang juga pernah diterapkan dalam pemerintahan colonial belanda ini, petani hanya berperan sebagai pekerja dan tidak dapat merasakan keuntungan dari tingginya hasil panen. Dalam kata lain, petani hanya berperan sebagai buruh. Sementara yang menikmatkan keuntungan besar-besaran adalah pihak swasta. Sementara para petani akan tetap hidup melarat.
Jika saja pemerintah serius mau memberdayakan petani, seharusnya yang dilakukan bukanlah mengimpor bahan pangan, ataupun “menggandeng” swasta untuk mengembangkan pertanian. Karena impor hanya akan menyebabkan petani lokal semakin kehilangan konsumen. Namun pemerintah seharusnya lebih konsen dan konsisten untuk memberdayakan petani, agar keahlian petani untuk mengolah lahan pertanian semakin meningkat. Selain itu kepemilikan lahan pertanian bagi setiap petani juga harus ditingkatkan agar sesuai dengan yang di tetapkan oleh UNESCO, “yang disebut petani adalah individu yang memiliki lahan pertanian minimal 2 hektar.” ini berarti untuk menjadi petani yang ideal seoseorang harus memiliki lahan minimal 2 hektar.
            Memperluas lahan pertanian sesungguhnya bukan hal yang mustahil, jika saja pemerintah mau tegas dan konsisten. Jumlah penduduk yang banyak seharusnya tidak menjadi alasan menyempitnya lahan pertanian. Bandingkan saja dengan India. India adalah Negara dengan penduduk terbanyak ke dua di dunia, tetapi wilayahnya lebih sempit dari Indonesia. Namun India mampu menyediakan lahan 48,9% dari seluruh luas wilayahnya untuk pertanian. Ini berarti dengan jumlah penduduk yang lebih sedikit dan wilayah yang lebih luas, maka sangat mungkin Indonesia melakukan perluasan daerah pertanian yang sekarang hanya seluas 2,5% dari wilayah Indonesia.
            Jika diperhatikan, kondisi petani yang saat ini sangat misris, bukanlah lantaran mereka termarjinalkan begitu saja, naum sesungguhnya mereka telah “dimarjinalkan”. Terangsaja, melihat fakta-fakta dan potensi untuk mengembangkan petani dan pertanian Indonesia begitu jelas terbuka dibandingkan Negara-negara lain, seharusnya pertanian Indonesia seharusnya bisa jauh lebih baik dari saat ini, jika saja sistem pengelolaan pertanian nasional berjalan dengan tepat. Tapi nyatanya hingga kini kebijakan yang diambil sebgaian besar tidak berpihak pada petani dan menggeser keberadaan mereka.  Jika hal ini terus berlanjut, maka bukan tidak mungkin, petani Indonesia akan habis. Tidak ada lagi generasi muda yang mau menjadi petani. Dan bukan  tidak mubgkin juga Indonesa tidak lagi menjadi Negara agraris. Maka dari itu, tindakan untuk mengokohkan kembali pertanian Indonesia harus segera dilakukan dengan konsisten.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar