Untuk
saat ini produktifitas lahan yang tinggi ini belum mampu membuat petani
Indonesia hidup sejahtera. hal ini dikarenakan lahan yang dimiliki petani
sangat sedikit. Dari 13 juta hektar lahan pertanian di Indonesia, hanya 5,8
juta hektar yang dimiliki oleh petani, sementara 7,2 juta hektar dimiliki oleh
BUMN dan Swasta. Jumlah petani di Indonesia mencapai 30 juta orang, ini berarti
setiap petani rata-rata memiliki lahan seluas 0,2 hektar. Dengan 0,2 hektar
lahan yang dimiliki berarti rata-rata petani
di Indonesia mampu menghasilkan kurang lebih 800 kg beras pertahun.
Petani di Desa umumnya mengkonsumsi langsung beras yang dihasilkan, beras yang
dihasilkan dalam sekali panen tidak dikonsumsi sendiri oleh pemilik sawah.
Namun juga dibagikan kepada orang yang menggarap sawah tersebut. Inilah yang
menyebabkan mengapa petani Indonesia belum mampu hidup layak, apalagi sejahtera
dari bertani.
Tidak heran dengan berbagai masalah
yang dihadapi, Petani Indonesia menyerah dan memilih untuk menjual lahan
pertaniannya dan menyebabkan semakin menurunnya lahan pertanian di Indonesia.
Alih fungsi lahan pertanian semakin besar seiring dengan maraknya investor yang
muncul dan menawarkan harga tinggi terhadap sawah mereka. Dewasa ini, lahan
pertanian dialih fungsikan untuk pembangunan daerah wisata, hotel dan berbagai
usaha properti. Belum lagi lahan pertanian yang dialihkan kepemilikannya dari
petani menjadi milik swasta yang semakin menyengsarakan kehidupan petani.
Tindakan yang perlu dilakukan bukanlah mengalihkan kepemilikan lahan pertanian
keswasta namun mengupayakan perluasan lahan pertanian yang dimiliki petani.
Pemerintah mencanangkan swasemabada
beras dan juga berangan-anagan mampu menjadi pemasok pangan dunia, namun mimpi
pemerintah ini tidak diiringi dengan tindakan tepat dan juga tidak
memperhitungkan nasib petani. Untuk mewujudkan mimpi menjadi pemasok pangan
dunia pemerintah memilih untuk mengelola pertanian bersama swasta. Hal ini
berarti petani-petani kecil akan semakin “termarjinalkan.”
Seperti yang terjadi di Merauke, sebagian besar wilayah pertaniannya dikuasai
oleh swasta sehingga petani lokal semakin terpinggirkan. Jika saja pemerintah
tetap menggandeng swasta, maka nasib petani tidak akan berkembang, walau target
untuk menjadi penyedia pangan internasional tercapai. Hanya swasta yang
merasakan keuntungan ini, dan rakyat kecil atau petani tetap saja akan hudup di
bawah garis kemiskinan.
Dalam sistem yang juga pernah
diterapkan dalam pemerintahan colonial belanda ini, petani hanya berperan
sebagai pekerja dan tidak dapat merasakan keuntungan dari tingginya hasil
panen. Dalam kata lain, petani hanya berperan sebagai buruh. Sementara yang
menikmatkan keuntungan besar-besaran adalah pihak swasta. Sementara para petani
akan tetap hidup melarat.
Jika
saja pemerintah serius mau memberdayakan petani, seharusnya yang dilakukan
bukanlah mengimpor bahan pangan, ataupun “menggandeng”
swasta untuk mengembangkan pertanian. Karena impor hanya akan menyebabkan
petani lokal semakin kehilangan konsumen. Namun pemerintah seharusnya lebih
konsen dan konsisten untuk memberdayakan petani, agar keahlian petani untuk
mengolah lahan pertanian semakin meningkat. Selain itu kepemilikan lahan
pertanian bagi setiap petani juga harus ditingkatkan agar sesuai dengan yang di
tetapkan oleh UNESCO, “yang disebut petani adalah individu yang memiliki lahan
pertanian minimal 2 hektar.” ini berarti untuk menjadi petani yang ideal
seoseorang harus memiliki lahan minimal 2 hektar.
Memperluas lahan pertanian
sesungguhnya bukan hal yang mustahil, jika saja pemerintah mau tegas dan
konsisten. Jumlah penduduk yang banyak seharusnya tidak menjadi alasan
menyempitnya lahan pertanian. Bandingkan saja dengan India. India adalah Negara
dengan penduduk terbanyak ke dua di dunia, tetapi wilayahnya lebih sempit dari
Indonesia. Namun India mampu menyediakan lahan 48,9% dari seluruh luas
wilayahnya untuk pertanian. Ini berarti dengan jumlah penduduk yang lebih
sedikit dan wilayah yang lebih luas, maka sangat mungkin Indonesia melakukan
perluasan daerah pertanian yang sekarang hanya seluas 2,5% dari wilayah
Indonesia.
Jika diperhatikan, kondisi petani yang
saat ini sangat misris, bukanlah lantaran mereka termarjinalkan begitu saja, naum
sesungguhnya mereka telah “dimarjinalkan”. Terangsaja, melihat fakta-fakta dan potensi
untuk mengembangkan petani dan pertanian Indonesia begitu jelas terbuka
dibandingkan Negara-negara lain, seharusnya pertanian Indonesia seharusnya bisa
jauh lebih baik dari saat ini, jika saja sistem pengelolaan pertanian nasional
berjalan dengan tepat. Tapi nyatanya hingga kini kebijakan yang diambil
sebgaian besar tidak berpihak pada petani dan menggeser keberadaan mereka. Jika hal ini terus berlanjut, maka bukan tidak
mungkin, petani Indonesia akan habis. Tidak ada lagi generasi muda yang mau
menjadi petani. Dan bukan tidak mubgkin
juga Indonesa tidak lagi menjadi Negara agraris. Maka dari itu, tindakan untuk
mengokohkan kembali pertanian Indonesia harus segera dilakukan dengan
konsisten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar